Ilmu Ma'ani al-Hadis
ORIENTASI PENDEKATAN HISTORIS DALAM MEMAHAMI HADIS
Oleh: Sayyidah Nafisah
I.
Pendahuluan
Sebagaimana telah diketahui bahwa hampir seluruh
umat Islam mengakui Sumber hukum Islam
adalah al-Qur’an, al-Hadis, ijma’ dan qiyas. Meskipun demikian, sumber-sumber
tersebut bertingkat-tingkat, yang paling utama adalah al-Qur’an dan kemudian
al-Hadis, dan yang keduanya merupakan sumber pokok. Oleh
karena itu, banyak ayat al-Qur’an dan hadis Nabi Sallā Allah ‘Alaihy wa
Sallām yang memerintahkan untuk taat kepada kedua sumber tersebut.
Dalam kaitannya dengan sumber yang pertama,
umat Islam telah sepakat akan kemutawatirannya. Sedangkan hadis Nabi Muhammad Sallā
Allah ‘Alaihy wa Sallām sebagian periwayatannya ada yang mutawatir dan
sebagian lagi ada yang tidak mutawatir, oleh karena itulah diperlukan
penelitian tersendiri untuk hadis Nabi Sallā Allah ‘Alaihy wa Sallām agar
dapat diketahui apakah hadis yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan
periwayatannya berasal dari Nabi Sallā Allah ‘Alaihy wa Sallām atau
tidak.
Dalam sebuah penelitian tentunya tidak akan
terlepas dengan istilah obyek penelitian. Oleh karena itu dalam kajian hadis
ini memiliki dua obyek pengkajian yaitu dari segi matan dan sanad. Matan ialah
redaksi hadis, sedangkan sanad ialah jalur periwayatan hadis.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang
pengkajian matan hadis agar makna-makna yang terkandung di dalamnya dapat
diketahui dengan baik. Dalam memahami suatu hadis, para pengkaji hadis memiliki
beberapa pendekatan, seperti pendekatan secara bahasa, hermeneutika, historis,
sosio-historis, psikologis, sosiologis, dan antropologis. Namun dalam makalah
ini penulis akan membatasi pembahasan dengan membahas salah satu dari pendekatan
tersebut yaitu pendekatan historis.
II.
Pendekatan Historis dalam Memahami Hadis
A.
Definisi Pendekatan Historis
Pendekatan adalah ilmu untuk dijadikan landasan kajian sebuah
studi atau penelitian. Pendekatan dalam aplikasinya lebih mendekati disiplin
ilmu karena tujuan utama pendekatan adalah untuk mengetahui sebuah kajian dan
langkah-langkah metodologis yang dipakai dalam suatu kajian atau penelitian itu
sendiri. Kata “sejarah” menunjukkan makna yang cukup beragam. Dalam bahasa Arab,
kata historis diistilahkan dengan lafal al-tārikh, yang artinya sejumlah
peristiwa atau keadaan yang terjadi di masa lalu, baik berkenaan dengan
individu atau sosial kemasyarakatan[1]. Sementara
dalam kamus bahasa Indonesia kata historis berarti berkenaan dengan sejarah, bertalian
atau ada hubungannya dengan masa lampau, dan bersejarah[2].
Signifikan sejarah sebagai sarana untuk
memahami Islam sudah diisyaratkan oleh generasi muslim terdahulu. Umar bin
Khattab misalnya pernah berkata bahwa tali pengikat Islam akan putus seutas
demi seutas jika kaum muslimin tidak mengerti sejarah[3].
Jadi pendekatan historis adalah sebuah
landasan ilmu kajian dengan memandang aspek sejarah atau peristiwa masa lampau.
Atau salah satu upaya melakukan studi Islam dengan menumbuhkan perenungan untuk
memperoleh hikmah dengan cara mempelajari sejarah nilai-nilai Islam yang
berisikan kisah dan perumpamaan.
B. Arti Pendekatan Historis dalam Memahami Hadis
Ada beberapa faktor yang menjadikan penelitian
hadis berkedudukan sangat penting yaitu: Pertama, hadis Nabi Sallā
Allah ‘Alaihy wa Sallām sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Kedua, tidak
seluruh hadis tertulis pada zaman Nabi Sallā Allah ‘Alaihy wa Sallām. Ketiga,
telah timbul berbagai pemalsuan hadis. Keempat, proses penghimpunan
hadis yang memakan waktu lama. Kelima, jumlah kitab hadis yang banyak
dengan metode penyusunan yang berbeda-beda. Keenam, telah terjadi
periwayatan hadis secara bermakna[4].
Pendekatan historis adalah suatu upaya memahami hadis dengan cara
mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat hadis itu disampaikan oleh
Nabi serta mengkaitkan antara ide dan gagasan yang terdapat dalam hadis dengan
determinasi sosial dan situasi historis kultural yang mengitarinya. Pendekatan ini sebenarnya telah
dirintis oleh ulama hadis sejak dulu, yaitu dengan munculnya ilmu Asbab
al-Wurud atau ilmu tentang sebab turunnya hadis yang berbicara mengenai
peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan yang terjadi pada saat hadis
tersebut disampaikan oleh Nabi Sallā Allah ‘Alaihy wa Sallām[5].
Pendekatan historis merupakan aspek yang
terpenting dalam memahami hadis, karena hadis sebagai salah satu disiplin ilmu
yang dapat dibedakan dari ilmu lainnya melalui teks dan narasi historis.
Pentingnya pemaknaan ini didasarkan pada asumsi bahwa tidak mungkin akan
terjadi pemahaman yang shahih bila tidak ada kepastian bahwa apa yang dipahami
itu secara historis otentik. Memahami hadis dengan menggunakan pendekatan
historis berarti memaknai hadis dengan melihat sejarah saat dimunculkannya
suatu hadis. Karena secara otomatis, seseorang dalam memahami hadis tidak
meninggalkan aspek kronologi datangnya suatu hadis dari sudut pengarang supaya
mendapatkan sebuah kefahaman. Data-data yang berkaitan dengan
pengarang atau orang-orang di sekitarnya dapat ditemukan dengan pendekatan
historis. Pengarang hadis sendiri tiada lain adalah Nabi Sallā Allah ‘Alaihy
wa Sallām.
Pembahasan keilmuan hadis yang menggunakan
pendekatan kronologis historis dapat dimulai sejak awal hadis itu keluar dari
sumber pertamanya hingga mengalir dalam proses riwayat yang akhirnya menjadi
marak periwayatan hadis yang dituangkan dalam kitab-kitab hadis di abad ke-2,
ke-3, dan ke-4. Metode historis dapat digunakan untuk menguji otentisitas
sumber dokumen sebagai peninggalan masa lampau yang dijadikan rujukan, yakni
mengupas teks-teks hadis dari aspek sanad ataupun matan. Konteks historis dalam
pengertian, kajian diarahkan pada komplikasi dan rekonstrksi sejarah dari data
konteks asbab al-wurud secara eksplisit dan implisit, serta konteks ketika
hadis tersebut dimunculkan dengan merujuk pada kitab-kitab syarah dan sejarah.
Dari beberapa defini di atas dapat ditarik benang
merah bahwa, pendekatan historis juga tidak jauh bedua dengan ilmu asbâb al-wurûd
yaitu yang erat kaitannya dengan konteks historisitas, baik berupa
peristiwa-peristiwa atau pertanyaan atau lainnya yang terjadi pada saat hadis
itu disampaikan oleh Nabi Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām. Ia juga dapat berfungsi sebagai pisau analisis untuk
menentukan apakah hadis itu bersifat umum atau khusus, mutlaq atau muqayyad,
naskh atau mansûkh dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dalam perspektif ini, mengetahui asbâb
al-wurûd bukanlah tujuan (ghâyah), melainkan hanya sebagai
sarana (wasîlah) untuk memperoleh ketepatan makna dalam memahami
pesan moral suatu hadis.[6]
C. Macam-Macam Asbâb
al-Wurûd
Peristiwa yang melatarbelakangi munculnya hadits ada 2, Yaitu:
1. Asbab Wurud Al-khas,
yaitu peristiwa yang terjadi menjelang turunnya suatu hadits.
2. Asbab Wurud Al’Am,
yaitu semua peristiwa yang dapat dicakup hukum atau kandungannnya oleh hadis,
baik peristiwa itu terjadi sebelum maupun sesudah turunnya ayat itu. Pengertian
yang kedua ini dapat diperluas sehingga mencangkup kondisi social pada msa
turunnya hadis (setting social).
Adapaun patokan kaidah yang dipakai oleh para mayoritas ulama dalam
asbab wurud adalah :
1.
Al-‘Ibrah
bi ‘umum al-lafdzi la bi khusus al-sababi
(yang menjadi patokan dalam memahami teks adalah keumuman lafad, bukan sebab
khususnya).
2.
Al-‘Ibrah
bi khusus al-sababi la bi ‘umum al-lafdzi
(yang menjadi patokan dalam memahami teks adalah sebab khusus, bukan keumuman
lafad.
Adapun contoh dari kaidah pertama yaitu Hadis tentang mandi jum’at
yang berbunyi:
Sesungguhnya
Rasulallah Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām bersabda : “jika seseorang diantara kamu
mendatangi shalat jum’at, maka hendaklah ia mandi” (H.R. Bukhari)
Dalam memahami hadis diatas maka kita lihat dulu asbabul wurudnya.
Pada jaman nabi Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām, ekonomi para sahabat pada
umumnya masih dalam keada’an sulit. Mereka memakai baju wol dan bekerja
diperkebunan kurma, memikul air diatas punggung mereka untuk melakukan
penyiraman. Setelah bekerja diperkebunan, banyak diantara mereka yang langsung
pergi ke masjid untuk melakukan shalat jum’at. Pada hari itu udara sangat panas
dan nabi menyempatkan khutbah jum’at diatas mimbar yang pendek, kemudian mereka
berkeringat dalam keadaan pakai pakaian wol. Bau keringat dan baju wol mereka
menyebar diruangan masjid dan jama’ah
merasa terganggu. Bahkan bau mereka juga sampai menyebar kemimbar rasulallah Ṣallā
Allahu ‘Alayhi wasallām, dan kemudian nabi bersabda : “Wahai kalian
manusia, jika kalian melaksanakan shalat jum’at ,hendaklah mandi terlebih
dahulu dan pakai minyak wangi terbaik yang ada padanya”.
Jumhurul ulama mengatakan bahwa kewajiban mandi pada hari jum’at
disebabkan oleh banyak faktor, antara lain cuaca panas yang menyebabkan
berkerinngat, pakaian wol yang menyimpan bau, kondisi masjid yang sempit dan lain-lain.
Jika jama’ah tidak mandi maka akan menimbulkan gangguan dan mengurangi
ketenangan didalam masjid. Hadis itu berlaku dan wajib dilaksanakan dalam
kondisi demikian.
Ketika keadaan umat islam sudah makmur, masjid-masjid sudah luas
dan pakaian mereka terbuat dari kain, maka ada kelonggaran dan kemurahan untuk
tidak mandi ketika hendak pergi keshalat jum’at. Sebab hal itu tidak akan
menimbulkan adanya gangguan pada jama’ah. Jika diamati ,maka kelihatan jelas
pendapat jumhurul ulama diatas dalam memahami hadis dengan kaidah : Al-‘Ibrah
bi ‘umum al-lafdzi la bi khusus al-sababi hadis nabi Ṣallā Allahu
‘Alayhi wasallām yang menyatakan “siapa saja yang mendatangi shalat jum’at
supaya mandi terlebih dahulu” lahir
karena adanya sebab khusus, yaitu adanya jama’ah yang kehadirannya
menimbulkan gangguan berupa bau tidak sedap yang diitimbulkannya dalam ruangan
masjid yang sangat sempit, dengan menerapkan kaidah diatas maka hadis itu
berlaku pada siapa saja yang kondisinya sama dengan pelaku peristiwa yang menyebabkan
munculnya hadis tersebut. Isi hadis tersebut tidak mengikat pada kepada mereka
yang kondisinya berbeda dengan pelaku peristiwa dan dalam suasana yang berbeda
pula, hanya saja kalau perintah hadis itu dilaksanakan, maka hukumnya lebih
baik bagi yang melakukan. Jika hadis itu dilepaskan dalam kontek asbabul
wurudnya, maka disimpulkan bahwa hukum mandi pada hari jum’at adalah wajib
sebagaimana pendapat daud al-dhahiri. Pendapat semacam ini semata-mata memahami
hadis secara tekstual tanpa mempertimbangkan konteks yang menyertainya.
Contoh kaidah yang kedua yaitu Al-‘Ibrah bi khusus al-sababi la
bi ‘umum al-lafdzi ,berdasarkan hadis diatas pula maka kita harus melihat
pada sebab-sebab yang mengikutinya sebagaimana telah disebutkan. Jadi, jika
menggunakan kaidah ini kewajiban mandi jum’at diatas hanya diberikan kepada
orang-orang yang mempunyai kondisi latar belakang yang sama.
Imam al-Suyûthi
mengklasifikasikan asbâb al-wurûd ke dalam tiga katagori, yaitu: 1) sebab
yang berupa ayat al-Qur’an; 2) sebab yang berupa hadis itu sendiri; 3) sebab
yang berupa sesuatu yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat.
Untuk lebih jelasnya,
maka berikut ini akan dijelaskan satu-persatu mengenai ketiga macam tersebut,
yaitu:
1. Sebab yang berupa
ayat al-Qur’an. Artinya di sini ayat al-Qur’an itu menjadi penyebab Nabi Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām mengeluarkan sabdanya. Contohnya antara lain firman
Allah Subḥānahu wa Ta’alā yang berbunyi :
الذين أمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم الأمن
وهم مهتدون
“orang-orang yang
beriman, dan mereka tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedzaliman,
mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu orang-orang
yang mendapatkan petunjuk”.[7]
Ketika itu sebagian
sahabat memahami kata “adh-dhulmu” dengan pengertian al-jûr
yang berarti berbuat aniaya atau melanggar aturan. Nabi Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām kemudian memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud “adh-dhulmu”
dalam firman tersebut adalah al-syirku yakni perbuatan syirik,
sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Luqman:
إن الشرك لظلم عظيم
“Sesungguhnya syirik
itu merupakan kezhaliman yang besar.”[8]
2. Sebab
yang berupa hadis. Artinya pada waktu itu terdapat suatu hadis, namun
sebagian sahabat merasa kesulitan memahaminya, maka kemudian muncul Hadis lain
yang memberikan penjelasan terhadap hadis tersebut. Contoh adalah hadis yang
berbunyi:
إن لله تعالى ملائكة في الأرض ينطق على ألسنة بني آدم
بما في المرء من خير أو شر
“sesungguhnya Allah Subḥānahu
wa Ta’alā memiliki para malaikat di bumi, yang dapat berbicara melalui mulut
manusia mengenai kebaikan dan keburukan seseorang.” (HR.
Hakim)
Dalam memahami hadis tersebut, ternyata
para sahabat merasa kesulitan, maka mereka bertanya: Ya Rasul! Bagaimana hal itu
dapat terjadi? Maka Nabi Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām menjelaskan lewat sabdanya yang lain sebagaimana hadis
yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Suatu ketika Nabi Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām bertemu dengan rombongan yang membawa jenazah. Para
sahabat kemudian memberikan pujian terhadap jenazah tersebut, seraya berkata:
“Jenazah itu baik”. Mendengar pujian tersebut, maka Nabi berkata: “wajabat” (pasti
masuk surga) tiga kali. Kemudian Nabi Ṣallā
Allahu ‘Alayhi wasallām
bertemu lagi dengan rombongan yang membawa jenazah lain. Ternyata para sahabat
mencelanya, seraya berkata: “Dia itu orang jahat”. Mendengar pernyataan itu,
maka Nabi berkata:“wajabat”. (pasti masuk neraka).
Ketika mendengar
komentar Nabi Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām
yang demikian, maka para sahabat bertanya: “Ya rasul !, mengapa terhadap
jenazah pertama engkau ikut memuji, sedangkan terhadap jenazah kedua tuan ikut
mencelanya. Engkau katakan kepada kedua jenazah tersebut: “wajabat” sampai
tiga kali. Nabi menjawab: ia benar. Lalu Nabi berkata kepada Abu Bakar, wahai Abu
Bakar sesungguhnya Allah Subḥānahu wa Ta’alā memiliki para malaikat di
bumi. Melalui mulut merekalah, malaikat akan menyatakan tentang kebaikan dan
keburukan seseorang. (HR. al-Hakim dan al-Baihaqi)
Dengan demikian, yang
dimaksud dengan para malaikat Allah di bumi yang menceritakan tentang kebaikan
keburukan seseorang adalah para sahabat atau orang-orang yang mengatakan bahwa jenazah
ini baik dan jenzah itu jahat.
3. Sebab yang berupa sesuatu
yang berkaitan dengan para pendengar di kalangan sahabat.
Sebagai contoh adalah
persoalan yang berkaitan dengan sahabat Syuraid Bin Suwaid al-Tsaqafi. Pada
waktu Fath Makkah (pembukaan kota Makkah) beliau pernah datang
kepada nabi Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām
seraya berkata: “Saya Bernazar Akan Shalat Di baitul Maqdis”. Mendengar
pernyataan sahabat tersebut, lalu Nabi bersabda: “Shalat Di sini, yakni
Masjidil Haram itu lebih utama”.Nabi Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām lalu bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam
kekuasaan-Nya, seandainya kamu shalat di sini (Masjidil
Haram Makkah), maka sudah mencukupi bagimu untuk memnuhi nazarmu”.
Kemudian Nabi Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām,
bersabda lagi: “Shalat di masjid ini, yaitu Masjid al-Haram itu lebih
utama dari pada 100.000 kali shalat di selain Masjid al-Haram”.
(H.R. Abdurrazzâq dalam Kitab al-Mushannafnya).[9]
D. Urgensi dan Penerapan Pendekatan Historis dalam Memahami hadis Beserta
Contohnya
Agar memperoleh pemahaman yang baik dan utuh
dalam memahami hadis melalui pendekatan historis, maka diperlukan
langkah-langkah penerapannya beserta contohnya. Adapun urgensi asbâb al-wurûd menurut Imam al-Suyûthi
antara lain untuk:
1. Menentukan
adanya takhshîsh hadis yang bersifat umum.
2. Membatasi pengertian
hadis yang masih mutlak.
3. Men-tafshîl (memerinci)
hadis yang masih bersifat global.
4. Menentukan ada atau
tidak adanya nash-mansûkh dalam suatu hadis.
5. Menjelaskan ‘illat (sebab-sebab)
ditetapkannya suatu hukum.
6. Menjelaskan maksud
suatu hadis yang masih musykil (sulit dapahami).
Sebagai ilustrasi,
akan diberikan beberapa contoh mengenai fungsi asbâb al-wurûd hadis,
yaitu untuk menentukan adanya takhshîsh terhadap suatu hadis yang ‘âm,
misalnya hadis yang berbunyi:
صلاة القاعد على النصف من صلاة القائم
“Shalat orang yang
sambil duduk pahalanya separoh dari orang yang sholat sambil berdiri.” (H.R. Ahmad)
Pengertian “shalat”
dalam hadis tersebut masih bersifat umum. Artinya dapat berarti shalat fardhu
dan sunnah. Jika ditelusuri melalui asbâb al-wurûdnya, maka akan dapat
dipahami bahwa yang dimaksud “shalat” dalam hadis itu adalah shalat sunnah,
bukan shalat fardhu. Inilah yang dimaksud dengan takhshîsh, yaitu
menentukan kekhususan suatu hadis yang bersifat umum, dengan memperhatikan
konteks asbâb al-wurûd.
Asbâb al-wurûd hadis tersebut adalah bahwa ketika itu di Madinah dan
penduduknya sedang terjangkit suatu wabah penyakit. Maka kebanyakan para
sahabat lalu melakukan shalat sunnah sambil duduk. Pada waktu itu, Nabi
kebetulan datang dan tahu bahwa mereka suka melakukan shalat sunnah tersebut
sambil duduk. Maka Nabi kemudian bersabda: “Shalat orang yang sambil duduk
pahalanya separuh dari orang yang shalat dengan berdiri”. Mendengar pernyataan
Nabi tersebut, akhirnya para sahabat yang tidak sakit memilih shalat sunnah
sambil berdiri.
Dari penjelasan asbâb
al-wurûd tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa, yang dimaksud dengan
“shalat” dalam hadis itu adalah shalat sunnah. Pengertiannya adalah bahwa bagi
orang yang sesungguhnya mampu melakukan shalat sunnah sambil duduk, maka ia
akan mendapat pahala separoh dari orang shalat sunnah dengan beridiri.
Dengan demikian,
apabila seseorang memang tidak mampu melakukan shalat sambil berdiri (mungkin
karena sakit), baik shalat fardhu atau shalat sunnah, lalu ia memilih shalat
dengan duduk, maka ia tidak termasuk orang yang disebut-sebut dalam hadis
tersebut. Maka pahala orang itu tetap penuh bukan separoh, sebab ia termasuk
golongan orang yang memang boleh melakukan rukhshah atau
keringanan syari’at.
Adapun contoh
mengenai asbâb al-wurûd yang berfungsi untuk membatasi pengertian
yang mutlak adalah hadis yang berbunyi:
من سن سنة حسنة عمل
بها بعده كان له أجره مثل أجورهم من غير أن ينقص من أجورهم شيئا و من سن سنة سيئة
فعمل بها من بعده كان عليه وزره ومثل أوزارهم من غير أن ينقص من أوزارهم شيئا
“Barang siapa
melakukan suatu sunnah hasanah (tradisi atau perilaku yang baik), lalu sunnah
itu diamalkan orang-orang sesudahnya, maka ia akan mendapatkan pahalanya
seperti pahala yang mereka lakukan, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.
Demikian pula sebaliknya, barang siapayang melakukan suatu sunnah sayyi’ah
(tradisi atau perilaku yang buruk) lalu diikuti orang-orang sesudahnya, maka ia
akan ikut mendapatkan dosa mereka, tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa yang
mereka peroleh.” (H.R. Muslim)
Kata “sunnah” masih
bersifat mutlak, artinya belum dijelaskan oleh pengertian tertentu. Ia dapat
berarti sunnah hasanah (perilaku yang baik) dan sunnah sayyi’ah
(perilaku yang jelek). Sunnah merupakan kata yang mutlak baik yang
mempunyai dasar pijakan agama atau tidak.
Asbâb al-wurûd dari hadis tersebut adalah ketika itu Nabi Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām sedang bersama-sama sahabat. Tiba tiba datanglah
sekelompok orang yang kelihatan sangat susah dan kumuh. Ternyata mereka adalah
orang-orang miskin. Melihat fenomena itu, Nabi Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām wajahnya menjadi merah, karena merasa empati, iba dan
kasihan. Beliau lalu memerintahkan kepada sahabat yang bernama Bilal agar
mengumandangkan adzan dan iqamah untuk melakukan shalat jama’ah. Setelah selesai
jama’ah shalat, Nabi Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām kenudian berpidato, yang inti pidatonya adalah
menganjurkan agar bertaqwa kepada Allah Subḥānahu wa Ta’alā dan mau
menginfaqkan sebagian hartanya untuk sekelompok orang-orang miskin tersebut.
Mendengar anjuran
itu, maka salah seorang dari sahabat Anshar lalu keluar membawa satu kantong
bahan makanan dan diberikan kepada mereka. Ternyata yang dilakukan oleh Anshar
itu kemudian diikuti oleh para sahabat yang lain. Maka kemudian Nabi bersabda:
من سن سنة حسنة … الحديث
Dari asbâb al-wurûd
tersebut, al-Suyûthi menyimpulkan bahwa, yang dimaksud sunnah dalam
hadis tersebut adalah sunnah yang baik.[10]
Adapun cara
mengetahui asbâb al-wurûdnya sebuah hadis adalah dengan melihat aspek
riwayat atau sejarah yang berkaitan dengan peristiwa munculnya hadis. Sebab-sebab
munculnya hadis ada yang sudah tercantum pada matan hadis itu
sendiri, ada yang tercantum pada matan hadis lain. Jika tidak
tercantum dalam matan, maka ditelusuri melalui riwayat atau sejarah atas
dasar pemberitaan para sahabat.[11]
III.
Kesimpulan
Pendekatan historis ialah salah satu upaya melakukan studi Islam dengan
menumbuhkan perenungan untuk memperoleh hikmah dengan cara mempelajari sejarah
nilai-nili Islam. Pendekatan historis dalam mamahami hadis artinya memaknai
hadis dengan melihat sejarah saat dimunculkannya suatu hadis. Hal ini menjadi
penting karena dalam menyuguhkan ilmu hadis pertama kali yang dilakukan adalah
dengan melihat kapling sejarah karena memahami makna menjadi utuh dan sesuai
kondisi dan situasi pada zaman tersebut.
Contoh hadis dengan pendekatan historis yaitu dengan melihat asbab
al-wurud hadis, karena ia merupakan ilmu pengetahuan yang menerangkan sebab
lahirnya hadis. Maka dengan memahami asbab al-wurud hadis ini, dapat
dengan mudah memahami apa yang dimaksud atau yang dikandung oleh suat hadis.
Namun demikian, tidak semua hadis mempunyai asbab al-wurud , seperti
halnya tidak semua ayat al-Qur’an memiiki asbab nuzulnya.
Oleh karenanya,
memperhatikan konteks historisitas munculnya hadis sangat penting, karena
paling tidak akan menghindarkan kesalahpahaman dalam menangkap maksud suatu
hadis. Dengan demikian, kita tidak terjebak pada teksnya saja, sementara
konteksnya kita abaikan atau kita ketepikan sama sekali. Pemahaman hadis yang
mengabaikan peranan asbâb al-wurûd akan cenderung bersifat kaku.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an.
Husain, Ibrahim bin Muhammad bin Muhammad Kamal al-Din Ibnu Ahmad bin. “al-Bayan
wa al-Ta’rif fi Asbab al-Wurud al-Hadis al-Syarif”. Beirut: Dar al-Kutub
al-Arabi, 1120 ḥ
Ju’fiy (al), Muhammad bin Ismail Abu ‘Abdullah al-Bukhari. “Shahih
al-Bukhari”. Mesir: Dar al-Kutub, 2000.
Madkur, Ibrahim. “ Al-Mu’jam al-Wajiz”. ttp: Majma’ al-Lughah
al-Arabiyah, 1996.
Musbikin, Miftahul Asror&Imam. “Membedah
Hadis Nabi Sallā Allah ‘Alaihy wa Sallām”. Madiun: Jaya Star Nine, 2015.
Mustaqin, Said
Agil Husin Munawwar dan Abdul. “Asbabul Wurud Studi Kritis Hadis Nabi
Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet
I., 2001.
Naisaburiyyi (an), Muslim bin Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi. “Shahih
Muslim”. Beirut: Dar Ihya’ al-Turats, tth.
Nasional, Departemen Pendidikan. “Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa”. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Ridha, Muhammad Rasyid. “Tafsir al-Manar”. Kairo: Dar al-Manar, 1945.
Syafi’i (al), Abu
Muhammad al-Husain bin Mas’ud bin Muhammad bin al-Fara’. “al-Baghawi
Syarh al-Sunnah”. Beirut: al-Maktab al-Islami, 1983.
Soetari, “Endang
Ilmu Hadits”. Bandung: Amal Bakti Press, 1997.
Wensick, A. J. “al-Mu’jam Mufahras li Alfaz al-Hadis an-Nabawi”. Leiden:
Maktabah Brill, 1943.
[1]
Ibrahim Madkur, Al-Mu’jam al-Wajiz, (ttp: Majma’
al-Lughah al-Arabiyah, 199), 12.
[2]
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), vol 4,
503.
[3]
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Kairo:
Dar al-Manar, 1945), cet IV, jilid 1,hlm 24.
[4]
Miftahul Asror&Imam Musbikin, Membedah Hadis Nabi Sallā
Allah ‘Alaihy wa Sallām, (Madiun: Jaya Star Nine, 2015), 292.
[5]
Ibid, 339.
[6]
Said
Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, Asbabul Wurud Studi Kritis Hadis
Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, hlm. 9.
[9]
Said
Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, Asbabul Wurud Studi Kritis Hadis
Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet
I., 2001), hlm. 9-12.
[11]
Endang
soetari, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), hlm. 211.
Komentar
Posting Komentar