Ilmu Ma'ani al-Hadis



ORIENTASI PENDEKATAN HISTORIS DALAM MEMAHAMI HADIS
Oleh: Sayyidah Nafisah
I.     Pendahuluan
Sebagaimana telah diketahui bahwa hampir seluruh umat Islam mengakui  Sumber hukum Islam adalah al-Qur’an, al-Hadis, ijma’ dan qiyas. Meskipun demikian, sumber-sumber tersebut bertingkat-tingkat, yang paling utama adalah al-Qur’an dan kemudian al-Hadis, dan yang keduanya merupakan sumber pokok. Oleh karena itu, banyak ayat al-Qur’an dan hadis Nabi Sallā Allah ‘Alaihy wa Sallām yang memerintahkan untuk taat kepada kedua sumber tersebut.
Dalam kaitannya dengan sumber yang pertama, umat Islam telah sepakat akan kemutawatirannya. Sedangkan hadis Nabi Muhammad Sallā Allah ‘Alaihy wa Sallām sebagian periwayatannya ada yang mutawatir dan sebagian lagi ada yang tidak mutawatir, oleh karena itulah diperlukan penelitian tersendiri untuk hadis Nabi Sallā Allah ‘Alaihy wa Sallām agar dapat diketahui apakah hadis yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi Sallā Allah ‘Alaihy wa Sallām atau tidak.
Dalam sebuah penelitian tentunya tidak akan terlepas dengan istilah obyek penelitian. Oleh karena itu dalam kajian hadis ini memiliki dua obyek pengkajian yaitu dari segi matan dan sanad. Matan ialah redaksi hadis, sedangkan sanad ialah jalur periwayatan hadis.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang pengkajian matan hadis agar makna-makna yang terkandung di dalamnya dapat diketahui dengan baik. Dalam memahami suatu hadis, para pengkaji hadis memiliki beberapa pendekatan, seperti pendekatan secara bahasa, hermeneutika, historis, sosio-historis, psikologis, sosiologis, dan antropologis. Namun dalam makalah ini penulis akan membatasi pembahasan dengan membahas salah satu dari pendekatan tersebut yaitu pendekatan historis.

II.  Pendekatan Historis dalam Memahami Hadis
A.    Definisi Pendekatan Historis
Pendekatan adalah ilmu untuk dijadikan landasan kajian sebuah studi atau penelitian. Pendekatan dalam aplikasinya lebih mendekati disiplin ilmu karena tujuan utama pendekatan adalah untuk mengetahui sebuah kajian dan langkah-langkah metodologis yang dipakai dalam suatu kajian atau penelitian itu sendiri. Kata “sejarah” menunjukkan makna yang cukup beragam. Dalam bahasa Arab, kata historis diistilahkan dengan lafal al-tārikh, yang artinya sejumlah peristiwa atau keadaan yang terjadi di masa lalu, baik berkenaan dengan individu atau sosial kemasyarakatan[1]. Sementara dalam kamus bahasa Indonesia kata historis berarti berkenaan dengan sejarah, bertalian atau ada hubungannya dengan masa lampau, dan bersejarah[2].
Signifikan sejarah sebagai sarana untuk memahami Islam sudah diisyaratkan oleh generasi muslim terdahulu. Umar bin Khattab misalnya pernah berkata bahwa tali pengikat Islam akan putus seutas demi seutas jika kaum muslimin tidak mengerti sejarah[3].
Jadi pendekatan historis adalah sebuah landasan ilmu kajian dengan memandang aspek sejarah atau peristiwa masa lampau. Atau salah satu upaya melakukan studi Islam dengan menumbuhkan perenungan untuk memperoleh hikmah dengan cara mempelajari sejarah nilai-nilai Islam yang berisikan kisah dan perumpamaan.
B.     Arti Pendekatan Historis dalam Memahami Hadis
Ada beberapa faktor yang menjadikan penelitian hadis berkedudukan sangat penting yaitu: Pertama, hadis Nabi Sallā Allah ‘Alaihy wa Sallām sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Kedua, tidak seluruh hadis tertulis pada zaman Nabi Sallā Allah ‘Alaihy wa Sallām. Ketiga, telah timbul berbagai pemalsuan hadis. Keempat, proses penghimpunan hadis yang memakan waktu lama. Kelima, jumlah kitab hadis yang banyak dengan metode penyusunan yang berbeda-beda. Keenam, telah terjadi periwayatan hadis secara bermakna[4].
Pendekatan historis adalah suatu upaya memahami hadis dengan cara mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat hadis itu disampaikan oleh Nabi serta mengkaitkan antara ide dan gagasan yang terdapat dalam hadis dengan determinasi sosial dan situasi historis kultural yang mengitarinya. Pendekatan ini sebenarnya telah dirintis oleh ulama hadis sejak dulu, yaitu dengan munculnya ilmu Asbab al-Wurud atau ilmu tentang sebab turunnya hadis yang berbicara mengenai peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan yang terjadi pada saat hadis tersebut disampaikan oleh Nabi Sallā Allah ‘Alaihy wa Sallām[5].
Pendekatan historis merupakan aspek yang terpenting dalam memahami hadis, karena hadis sebagai salah satu disiplin ilmu yang dapat dibedakan dari ilmu lainnya melalui teks dan narasi historis. Pentingnya pemaknaan ini didasarkan pada asumsi bahwa tidak mungkin akan terjadi pemahaman yang shahih bila tidak ada kepastian bahwa apa yang dipahami itu secara historis otentik. Memahami hadis dengan menggunakan pendekatan historis berarti memaknai hadis dengan melihat sejarah saat dimunculkannya suatu hadis. Karena secara otomatis, seseorang dalam memahami hadis tidak meninggalkan aspek kronologi datangnya suatu hadis dari sudut pengarang supaya mendapatkan sebuah kefahaman. Data-data yang berkaitan dengan pengarang atau orang-orang di sekitarnya dapat ditemukan dengan pendekatan historis. Pengarang hadis sendiri tiada lain adalah Nabi Sallā Allah ‘Alaihy wa Sallām.
Pembahasan keilmuan hadis yang menggunakan pendekatan kronologis historis dapat dimulai sejak awal hadis itu keluar dari sumber pertamanya hingga mengalir dalam proses riwayat yang akhirnya menjadi marak periwayatan hadis yang dituangkan dalam kitab-kitab hadis di abad ke-2, ke-3, dan ke-4. Metode historis dapat digunakan untuk menguji otentisitas sumber dokumen sebagai peninggalan masa lampau yang dijadikan rujukan, yakni mengupas teks-teks hadis dari aspek sanad ataupun matan. Konteks historis dalam pengertian, kajian diarahkan pada komplikasi dan rekonstrksi sejarah dari data konteks asbab al-wurud secara eksplisit dan implisit, serta konteks ketika hadis tersebut dimunculkan dengan merujuk pada kitab-kitab syarah dan sejarah.
Dari beberapa defini di atas dapat ditarik benang merah bahwa, pendekatan historis juga tidak jauh bedua dengan ilmu asbâb al-wurûd yaitu yang erat kaitannya dengan konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan atau lainnya yang terjadi pada saat hadis itu disampaikan oleh Nabi Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām. Ia juga dapat berfungsi sebagai pisau analisis untuk menentukan apakah hadis itu bersifat umum atau khusus, mutlaq atau muqayyad, naskh atau mansûkh dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dalam perspektif ini, mengetahui asbâb al-wurûd bukanlah tujuan (ghâyah), melainkan hanya sebagai sarana (wasîlah) untuk memperoleh ketepatan makna dalam memahami pesan moral suatu hadis.[6]
C.    Macam-Macam Asbâb al-Wurûd
Peristiwa yang melatarbelakangi munculnya hadits ada 2, Yaitu:
1. Asbab Wurud Al-khas, yaitu peristiwa yang terjadi menjelang turunnya suatu hadits.
2. Asbab Wurud Al’Am, yaitu semua peristiwa yang dapat dicakup hukum atau kandungannnya oleh hadis, baik peristiwa itu terjadi sebelum maupun sesudah turunnya ayat itu. Pengertian yang kedua ini dapat diperluas sehingga mencangkup kondisi social pada msa turunnya hadis (setting social).
Adapaun patokan kaidah yang dipakai oleh para mayoritas ulama dalam asbab wurud adalah :
1.      Al-‘Ibrah bi ‘umum al-lafdzi la bi khusus al-sababi (yang menjadi patokan dalam memahami teks adalah keumuman lafad, bukan sebab khususnya).
2.      Al-‘Ibrah bi khusus al-sababi la bi ‘umum al-lafdzi (yang menjadi patokan dalam memahami teks adalah sebab khusus, bukan keumuman lafad.
Adapun contoh dari kaidah pertama yaitu Hadis tentang mandi jum’at yang berbunyi:
Sesungguhnya Rasulallah Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām  bersabda : “jika seseorang diantara kamu mendatangi shalat jum’at, maka hendaklah ia mandi” (H.R. Bukhari)
Dalam memahami hadis diatas maka kita lihat dulu asbabul wurudnya. Pada jaman nabi Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām, ekonomi para sahabat pada umumnya masih dalam keada’an sulit. Mereka memakai baju wol dan bekerja diperkebunan kurma, memikul air diatas punggung mereka untuk melakukan penyiraman. Setelah bekerja diperkebunan, banyak diantara mereka yang langsung pergi ke masjid untuk melakukan shalat jum’at. Pada hari itu udara sangat panas dan nabi menyempatkan khutbah jum’at diatas mimbar yang pendek, kemudian mereka berkeringat dalam keadaan pakai pakaian wol. Bau keringat dan baju wol mereka menyebar diruangan masjid  dan jama’ah merasa terganggu. Bahkan bau mereka juga sampai menyebar kemimbar rasulallah Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām, dan kemudian nabi bersabda : “Wahai kalian manusia, jika kalian melaksanakan shalat jum’at ,hendaklah mandi terlebih dahulu dan pakai minyak wangi terbaik yang ada padanya”.
Jumhurul ulama mengatakan bahwa kewajiban mandi pada hari jum’at disebabkan oleh banyak faktor, antara lain cuaca panas yang menyebabkan berkerinngat, pakaian wol yang menyimpan bau, kondisi masjid yang sempit dan lain-lain. Jika jama’ah tidak mandi maka akan menimbulkan gangguan dan mengurangi ketenangan didalam masjid. Hadis itu berlaku dan wajib dilaksanakan dalam kondisi demikian.
Ketika keadaan umat islam sudah makmur, masjid-masjid sudah luas dan pakaian mereka terbuat dari kain, maka ada kelonggaran dan kemurahan untuk tidak mandi ketika hendak pergi keshalat jum’at. Sebab hal itu tidak akan menimbulkan adanya gangguan pada jama’ah. Jika diamati ,maka kelihatan jelas pendapat jumhurul ulama diatas dalam memahami hadis dengan kaidah : Al-‘Ibrah bi ‘umum al-lafdzi la bi khusus al-sababi hadis nabi Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām yang menyatakan “siapa saja yang mendatangi shalat jum’at supaya mandi terlebih dahulu” lahir  karena adanya sebab khusus, yaitu adanya jama’ah yang kehadirannya menimbulkan gangguan berupa bau tidak sedap yang diitimbulkannya dalam ruangan masjid yang sangat sempit, dengan menerapkan kaidah diatas maka hadis itu berlaku pada siapa saja yang kondisinya sama dengan pelaku peristiwa yang menyebabkan munculnya hadis tersebut. Isi hadis tersebut tidak mengikat pada kepada mereka yang kondisinya berbeda dengan pelaku peristiwa dan dalam suasana yang berbeda pula, hanya saja kalau perintah hadis itu dilaksanakan, maka hukumnya lebih baik bagi yang melakukan. Jika hadis itu dilepaskan dalam kontek asbabul wurudnya, maka disimpulkan bahwa hukum mandi pada hari jum’at adalah wajib sebagaimana pendapat daud al-dhahiri. Pendapat semacam ini semata-mata memahami hadis secara tekstual tanpa mempertimbangkan konteks yang menyertainya.
Contoh kaidah yang kedua yaitu Al-‘Ibrah bi khusus al-sababi la bi ‘umum al-lafdzi ,berdasarkan hadis diatas pula maka kita harus melihat pada sebab-sebab yang mengikutinya sebagaimana telah disebutkan. Jadi, jika menggunakan kaidah ini kewajiban mandi jum’at diatas hanya diberikan kepada orang-orang yang mempunyai kondisi latar belakang yang sama.
Imam  al-Suyûthi mengklasifikasikan asbâb al-wurûd ke dalam tiga katagori, yaitu: 1) sebab yang berupa ayat al-Qur’an; 2) sebab yang berupa hadis itu sendiri; 3) sebab yang berupa sesuatu yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat.
Untuk lebih jelasnya, maka berikut ini akan dijelaskan satu-persatu mengenai ketiga macam tersebut, yaitu:
1.      Sebab yang berupa ayat al-Qur’an. Artinya di sini ayat al-Qur’an itu menjadi penyebab Nabi Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām mengeluarkan sabdanya. Contohnya antara lain firman Allah Subḥānahu wa Ta’alā yang berbunyi :
الذين أمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم الأمن وهم مهتدون
“orang-orang yang beriman, dan mereka tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedzaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu orang-orang yang mendapatkan petunjuk”.[7]

Ketika itu sebagian sahabat memahami kata “adh-dhulmu” dengan pengertian al-jûr yang berarti berbuat aniaya atau melanggar aturan. Nabi Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām kemudian memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud “adh-dhulmu” dalam firman tersebut adalah al-syirku yakni perbuatan syirik, sebagaimana yang disebutkan  dalam surat al-Luqman:
إن الشرك لظلم عظيم
“Sesungguhnya syirik itu merupakan kezhaliman yang besar.”[8] 

2.       Sebab yang berupa hadis. Artinya pada waktu  itu terdapat suatu hadis, namun sebagian sahabat merasa kesulitan memahaminya, maka kemudian muncul Hadis lain yang memberikan penjelasan terhadap hadis tersebut. Contoh adalah hadis yang berbunyi:
إن لله تعالى ملائكة في الأرض ينطق على ألسنة بني آدم بما في المرء من خير أو شر
“sesungguhnya Allah Subḥānahu wa Ta’alā memiliki para malaikat di bumi, yang dapat berbicara melalui mulut manusia mengenai kebaikan dan keburukan seseorang.” (HR. Hakim)

     Dalam memahami hadis tersebut, ternyata para sahabat merasa kesulitan, maka mereka bertanya: Ya Rasul! Bagaimana hal itu dapat terjadi? Maka Nabi Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām menjelaskan lewat sabdanya yang lain sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Suatu ketika Nabi Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām bertemu dengan rombongan yang membawa jenazah. Para sahabat kemudian memberikan pujian terhadap jenazah tersebut, seraya berkata: “Jenazah itu baik”. Mendengar pujian tersebut, maka Nabi berkata: “wajabat” (pasti masuk surga) tiga kali. Kemudian Nabi Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām bertemu lagi dengan rombongan yang membawa jenazah lain. Ternyata para sahabat mencelanya, seraya berkata: “Dia itu orang jahat”. Mendengar pernyataan itu, maka Nabi berkata:“wajabat”. (pasti masuk neraka).
Ketika mendengar komentar Nabi Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām yang demikian, maka para sahabat bertanya: “Ya rasul !, mengapa terhadap jenazah pertama engkau ikut memuji, sedangkan terhadap jenazah kedua tuan ikut mencelanya. Engkau katakan kepada kedua jenazah tersebut: “wajabat” sampai tiga kali. Nabi menjawab: ia benar. Lalu Nabi berkata kepada Abu Bakar, wahai Abu Bakar sesungguhnya Allah Subḥānahu wa Ta’alā memiliki para malaikat di bumi. Melalui mulut merekalah, malaikat akan menyatakan tentang kebaikan dan keburukan seseorang. (HR. al-Hakim dan al-Baihaqi)
Dengan demikian, yang dimaksud dengan para malaikat Allah di bumi yang menceritakan tentang kebaikan keburukan seseorang adalah para sahabat atau orang-orang yang mengatakan bahwa jenazah ini baik dan jenzah itu jahat.
3.      Sebab yang berupa sesuatu yang berkaitan dengan para pendengar di kalangan sahabat.
Sebagai contoh adalah persoalan yang berkaitan dengan sahabat Syuraid Bin Suwaid al-Tsaqafi. Pada waktu Fath Makkah (pembukaan kota Makkah) beliau pernah datang kepada nabi Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām seraya berkata: “Saya Bernazar Akan Shalat Di baitul Maqdis”. Mendengar pernyataan sahabat tersebut, lalu Nabi bersabda: “Shalat Di siniyakni Masjidil Haram itu lebih utama”.Nabi Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām lalu bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nyaseandainya kamu shalat di sini (Masjidil Haram Makkah), maka sudah mencukupi bagimu untuk memnuhi nazarmu”. Kemudian Nabi Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām, bersabda lagi: “Shalat di masjid iniyaitu Masjid al-Haram itu lebih utama dari pada 100.000 kali shalat di selain Masjid al-Haram”. (H.R. Abdurrazzâq dalam Kitab al-Mushannafnya).[9]
D.    Urgensi dan Penerapan Pendekatan Historis dalam Memahami hadis Beserta Contohnya
Agar memperoleh pemahaman yang baik dan utuh dalam memahami hadis melalui pendekatan historis, maka diperlukan langkah-langkah penerapannya beserta contohnya. Adapun urgensi asbâb al-wurûd menurut Imam al-Suyûthi antara lain untuk:
1.      Menentukan adanya takhshîsh hadis yang bersifat umum.
2.      Membatasi pengertian hadis yang masih mutlak.
3.      Men-tafshîl (memerinci) hadis yang masih bersifat global.
4.      Menentukan ada atau tidak adanya nash-mansûkh dalam suatu hadis.
5.      Menjelaskan ‘illat (sebab-sebab) ditetapkannya suatu hukum.
6.      Menjelaskan maksud suatu hadis yang masih musykil (sulit dapahami).
Sebagai ilustrasi, akan diberikan beberapa contoh mengenai fungsi asbâb al-wurûd hadis, yaitu untuk menentukan adanya takhshîsh terhadap suatu hadis yang ‘âm, misalnya hadis yang berbunyi:
صلاة القاعد على النصف من صلاة القائم
“Shalat orang yang sambil duduk pahalanya separoh dari orang yang sholat sambil berdiri.” (H.R. Ahmad)

Pengertian “shalat” dalam hadis tersebut masih bersifat umum. Artinya dapat berarti shalat fardhu dan sunnah. Jika ditelusuri melalui asbâb al-wurûdnya, maka akan dapat dipahami bahwa yang dimaksud “shalat” dalam hadis itu adalah shalat sunnah, bukan shalat fardhu. Inilah yang dimaksud dengan takhshîsh, yaitu menentukan kekhususan suatu hadis yang bersifat umum, dengan memperhatikan konteks asbâb al-wurûd.
Asbâb al-wurûd hadis tersebut adalah bahwa ketika itu di Madinah dan penduduknya sedang terjangkit suatu wabah penyakit. Maka kebanyakan para sahabat lalu melakukan shalat sunnah sambil duduk. Pada waktu itu, Nabi kebetulan datang dan tahu bahwa mereka suka melakukan shalat sunnah tersebut sambil duduk. Maka Nabi kemudian bersabda: “Shalat orang yang sambil duduk pahalanya separuh dari orang yang shalat dengan berdiri”. Mendengar pernyataan Nabi tersebut, akhirnya para sahabat yang tidak sakit memilih shalat sunnah sambil berdiri.
Dari penjelasan asbâb al-wurûd tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa, yang dimaksud dengan “shalat” dalam hadis itu adalah shalat sunnah. Pengertiannya adalah bahwa bagi orang yang sesungguhnya mampu melakukan shalat sunnah sambil duduk, maka ia akan mendapat pahala separoh dari orang shalat sunnah dengan beridiri.
Dengan demikian, apabila seseorang memang tidak mampu melakukan shalat sambil berdiri (mungkin karena sakit), baik shalat fardhu atau shalat sunnah, lalu ia memilih shalat dengan duduk, maka ia tidak termasuk orang yang disebut-sebut dalam hadis tersebut. Maka pahala orang itu tetap penuh bukan separoh, sebab ia termasuk golongan orang yang memang boleh melakukan rukhshah atau keringanan syari’at.
Adapun contoh mengenai asbâb al-wurûd yang berfungsi untuk membatasi pengertian yang mutlak adalah hadis yang berbunyi:
من سن سنة حسنة عمل بها بعده كان له أجره مثل أجورهم من غير أن ينقص من أجورهم شيئا و من سن سنة سيئة فعمل بها من بعده كان عليه وزره ومثل أوزارهم من غير أن ينقص من أوزارهم شيئا
“Barang siapa melakukan suatu sunnah hasanah (tradisi atau perilaku yang baik), lalu sunnah itu diamalkan orang-orang sesudahnya, maka ia akan mendapatkan pahalanya seperti pahala yang mereka lakukan, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Demikian pula sebaliknya, barang siapayang melakukan suatu sunnah sayyi’ah (tradisi atau perilaku yang buruk) lalu diikuti orang-orang sesudahnya, maka ia akan ikut mendapatkan dosa mereka, tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa yang mereka peroleh.” (H.R. Muslim)

Kata “sunnah” masih bersifat mutlak, artinya belum dijelaskan oleh pengertian tertentu. Ia dapat berarti sunnah hasanah (perilaku yang baik) dan sunnah sayyi’ah (perilaku yang jelek). Sunnah merupakan kata yang mutlak baik yang mempunyai dasar pijakan agama atau tidak.
Asbâb al-wurûd dari hadis tersebut adalah ketika itu Nabi Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām sedang bersama-sama sahabat. Tiba tiba datanglah sekelompok orang yang kelihatan sangat susah dan kumuh. Ternyata mereka adalah orang-orang miskin. Melihat fenomena itu, Nabi Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām wajahnya menjadi merah, karena merasa empati, iba dan kasihan. Beliau lalu memerintahkan kepada sahabat yang bernama Bilal agar mengumandangkan adzan dan iqamah untuk melakukan shalat jama’ah. Setelah selesai jama’ah shalat, Nabi Ṣallā Allahu ‘Alayhi wasallām kenudian berpidato, yang inti pidatonya adalah menganjurkan agar bertaqwa kepada Allah Subḥānahu wa Ta’alā dan mau menginfaqkan sebagian hartanya untuk sekelompok orang-orang miskin tersebut.
Mendengar anjuran itu, maka salah seorang dari sahabat Anshar lalu keluar membawa satu kantong bahan makanan dan diberikan kepada mereka. Ternyata yang dilakukan oleh Anshar itu kemudian diikuti oleh para sahabat yang lain. Maka kemudian Nabi bersabda:
من سن سنة حسنة  … الحديث
Dari asbâb al-wurûd tersebut, al-Suyûthi menyimpulkan bahwa, yang dimaksud sunnah dalam hadis tersebut adalah sunnah yang baik.[10]
Adapun cara mengetahui asbâb al-wurûdnya sebuah hadis adalah dengan melihat aspek riwayat atau sejarah yang berkaitan dengan peristiwa munculnya hadis. Sebab-sebab munculnya hadis ada yang sudah tercantum pada matan hadis itu sendiri, ada yang tercantum pada matan hadis lain. Jika tidak tercantum dalam matan, maka ditelusuri melalui riwayat atau sejarah atas dasar pemberitaan para sahabat.[11]
III.             Kesimpulan
Pendekatan historis ialah salah satu upaya melakukan studi Islam dengan menumbuhkan perenungan untuk memperoleh hikmah dengan cara mempelajari sejarah nilai-nili Islam. Pendekatan historis dalam mamahami hadis artinya memaknai hadis dengan melihat sejarah saat dimunculkannya suatu hadis. Hal ini menjadi penting karena dalam menyuguhkan ilmu hadis pertama kali yang dilakukan adalah dengan melihat kapling sejarah karena memahami makna menjadi utuh dan sesuai kondisi dan situasi pada zaman tersebut.
Contoh hadis dengan pendekatan historis yaitu dengan melihat asbab al-wurud hadis, karena ia merupakan ilmu pengetahuan yang menerangkan sebab lahirnya hadis. Maka dengan memahami asbab al-wurud hadis ini, dapat dengan mudah memahami apa yang dimaksud atau yang dikandung oleh suat hadis. Namun demikian, tidak semua hadis mempunyai asbab al-wurud , seperti halnya tidak semua ayat al-Qur’an memiiki asbab nuzulnya.
Oleh karenanya, memperhatikan konteks historisitas munculnya hadis sangat penting, karena paling tidak akan menghindarkan kesalahpahaman dalam menangkap maksud suatu hadis. Dengan demikian, kita tidak terjebak pada teksnya saja, sementara konteksnya kita abaikan atau kita ketepikan sama sekali. Pemahaman hadis yang mengabaikan peranan asbâb al-wurûd akan cenderung bersifat kaku.







Daftar Pustaka
Al-Qur’an.
Husain, Ibrahim bin Muhammad bin Muhammad Kamal al-Din Ibnu Ahmad bin. “al-Bayan wa al-Ta’rif fi Asbab al-Wurud al-Hadis al-Syarif”. Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1120
Ju’fiy (al), Muhammad bin Ismail Abu ‘Abdullah al-Bukhari. “Shahih al-Bukhari”. Mesir: Dar al-Kutub, 2000.
Madkur, Ibrahim. “ Al-Mu’jam al-Wajiz”. ttp: Majma’ al-Lughah al-Arabiyah, 1996.
Musbikin, Miftahul Asror&Imam.  Membedah Hadis Nabi Sallā Allah ‘Alaihy wa Sallām”. Madiun: Jaya Star Nine, 2015.
Mustaqin, Said Agil Husin Munawwar dan Abdul. “Asbabul Wurud Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet I., 2001.
Naisaburiyyi (an),  Muslim bin Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi. “Shahih Muslim”. Beirut: Dar Ihya’ al-Turats, tth.
Nasional, Departemen Pendidikan. “Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa”. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Ridha, Muhammad Rasyid. “Tafsir al-Manar”. Kairo: Dar al-Manar, 1945.
Syafi’i (al), Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud bin Muhammad bin al-Fara’. al-Baghawi Syarh al-Sunnah”. Beirut: al-Maktab al-Islami, 1983.
Soetari, “Endang Ilmu Hadits”. Bandung: Amal Bakti Press, 1997.
Wensick, A. J. “al-Mu’jam Mufahras li Alfaz al-Hadis an-Nabawi”. Leiden: Maktabah Brill, 1943.


[1] Ibrahim Madkur, Al-Mu’jam al-Wajiz, (ttp: Majma’ al-Lughah al-Arabiyah, 199), 12.
[2] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), vol 4, 503.
[3] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Kairo: Dar al-Manar, 1945), cet IV, jilid 1,hlm 24.
[4] Miftahul Asror&Imam Musbikin, Membedah Hadis Nabi Sallā Allah ‘Alaihy wa Sallām, (Madiun: Jaya Star Nine, 2015), 292.
[5] Ibid, 339.
[6] Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, Asbabul Wurud Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, hlm. 9.
[7] QS. al-‘An’âm: 82.
[8] QS. Luqman: 13.
[9] Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, Asbabul Wurud Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet I., 2001), hlm. 9-12.
[10] Ibid., hlm. 13-16.
[11] Endang soetari, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), hlm. 211.

Komentar